Diskusi tentang
pengelolaan kualitas SDM dalam era Human
Capital tidak bisa lepas dari gagasan mengenai Talent Management sebagai key
issues. Substansinya adalah
bagaimana perusahaan secara konstan dapat merekrut, mengembangkan untuk kemudian
me-maintain dan me-retain karyawan yang bertalenta tinggi dan
mempunyai kinerja unggul.
Apabila karyawan
yang bertalenta unggul berhasil dikembangkan untuk menduduki posisi strategis
di DAHANA, maka sejujurnya mereka adalah urat nadi bagi perusahaan untuk dapat
berkompetisi dalam lingkungan bisnis yang terus berubah dengan cepat,
sebagaimana kutipan dari Pak Bill Gates --- Founder
Microsoft : “Take my 20
best people, and virtually overnight, Microsoft becomes a mediocre company”.
Data di akhir
triwulan 2016 ini, bahwa generasi Z (usia dibawah 29 tahun) telah tumbuh dan
menggerus sedikit demi sedikit prosentase jumlah karyawan dari generasi baby boomers dan generasi X (generasi
lahir sebelum tahun 1970an). Tidak
kurang dari 20% karyawan DAHANA adalah generasi Z yang sangat melek teknologi
dan hidupnya tidak bisa lepas dari gadget
dan media sosial, sehingga membuat kesadaran privasinya menjadi lebih
tinggi dan selalu berharap apa yang dilakukan bisa berdampak pada dunia. Efeknya
adalah mereka lebih suka terlibat dalam organisasi yang tidak birokratis dan casual serta berharap jenjang karir tidak
step by step menuju top position, tapi ada lompatan-lompatan
karir sebagai penghargaan atas kinerjanya yang cemerlang. Dan hasil seleksi dan
rekrutmen 2015/2016 seakan mendukung pernyataan tersebut, dimana untuk pertama
kalinya terdapat 2 calon karyawan yang teridentifikasi sebagai potential talent mengundurkan diri pada
3 bulan pertama. Tentu saja hal ini
menjadi tantangan yang paling menarik dan urgent
bagi Perusahaan, khususnya pengelola SDM untuk melakukan terobosan atau inovasi
dalam pengelolaannya, terutama dalam memberikan prioritas bagi Karyawan yang karena
potensi dan kompetensinya terindikasi sebagai talent bagi DAHANA untuk tetap berkarya bagi DAHANA vis a vis adalah karya untuk bangsa.
Di sisi yang lain,
adalah fakta juga bahwa lebih dari 40% Karyawan DAHANA adalah generasi Y, yang
mempunyai ciri sangat percaya diri, terbiasa dengan IT,
mengharapkan tantangan yang besar dan memiliki keinginan untuk mendapatkan
peran signifikan di proyek/kegiatan tertentu serta sangat egocentris. Studi tahun 2016
ini yang dilakukan Dale Carnegie Indonesia terhadap generasi Y menyatakan bahwa,
“if you are have 10 gen Y, 1 is
disengaged”. Ini berarti bahwa sekitar 4% karyawan mempunyai intensi untuk
melepaskan diri dari ikatan DAHANA. Sehingga pertanyaannya sekarang adalah
strategi terbaik apa yang bisa dilakukan oleh Manajemen DAHANA untuk
pengelolaan talent yang fondamen dan
mantap?
Setidaknya ada dua
catatan dalam pemikiran saya untuk dijadikan pondasi dalam menjalankan strategi
talent management yang optimal. Catatan pertama adalah: berdasarkan hasil studi empirik
menunjukkan bahwa kehandalan sebuah perusahaan sangat ditentukan hanya oleh 30%
karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi strategis (core position). Mengutip ungkapan dari Acara TV: Master Chef dan Hell’s Kitchen, sebuah
restoran yang terkenal tidak ditentukan oleh kompetensi kasir atau pramusajinya
tapi lebih ditentukan oleh faktor Chef
atau kokinya sebagai core position/critical
competencies. Analogi yang lain
adalah strategi bisnis Astra ketika ingin memenangkan kompetisi dalam pemasaran
Toyota Avanza dan Inova pada awal tahun 2003 dimana mereka menentukan dan fokus
pada talent dengan critical competencies kepada Product Design Engineer, khususnya pada propeller shaft. Sehingga secara sederhana apabila ilustrasi tadi
diproyeksikan untuk DAHANA saat ini, sebagai berikut: ketika DAHANA ingin menguasai pasar produk
dan jasa peledakan, maka menurut saya, people
yang memiliki kompetensi engineering di
bidang teknik/teknologi blasting, MMT
(Mobile Manufacturing Truck), OSP (On
Site Plan) dan teknologi proses beserta produknya adalah Core Position. Tanpa penguasaan kompetensi tersebut produksi
DAHANA hanya sekedar ‘average’. Tetapi
begitu kita ingin peningkatan produksi yang sangat signifikan, maka peran engineering MMT dan OSP sebagai kompetensi didukung teknologi proses ter-update yang
dikuasai DAHANA, ditambah penguasaan teknologi blasting yang prima akan menjadikan sebuah keniscayaan untuk
lompatan besar bagi produksi DAHANA dalam memenuhi kebutuhan konsumen. So… Kemudian pertanyaan menjadi sebuah
pilihan, apakah restoran DAHANA akan mengembangkan chef/koki atau kasir dan
pramusajinya untuk mendatangkan konsumen?
Ilustrasi tersebut
bukan bermaksud mengesampingkan peran-peran lainnya dalam organisasi DAHANA,
tapi sebuah proses kesadaran dalam mewujudkan visi-misi DAHANA dalam
berbisnis. DAHANA semestinya mati-matian
untuk fight dalam mendapatkan dan
mempertahankan talent yang unggul
karena mereka-lah yang bakalan menciptakan nilai lebih dalam produk DAHANA
dengan inovasi-inovasinya. Dan
sebaliknya untuk yang non core
kualifikasi ‘standard’ sudah cukup
karena efek diferensiasi dari posisi tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mempengaruhi level kinerja
Perusahaan.
Gambaran di atas
menjadi dasar dalam pemikiran saya untuk memberikan catatan kedua, dimana
timbul sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh pengelola SDM DAHANA: Perlukah perbedaan perlakuan untuk mengelola karyawan
yang core dan non core? Bayangkanlah,
dengan jumlah pengelola SDM yang terbatas harus memikirkan pengembangan seluruh
Karyawan. Bandingkan dengan jumlah tersebut
apabila pengelola SDM DAHANA lebih fokus pada pengembangan talent pada key position
atau critical competencies yang tidak
lebih dari 30% dari total karyawan? Tentu saja akan lebih efektif pada strategi fokus
pada karyawan core, karena kita tidak
perlu lagi ambisius untuk mengembangkan seluruh karyawan yang seringkali
menghabiskan seluruh energi. Kita cukup
memfokuskan energi terbesar pada karyawan yang menduduki posisi kunci dengan critical competencies-nya. Pengelola SDM semestinya mengerahkan sebagian
sumber daya untuk habis-habisan menghajar talenta-talenta unggul DAHANA dengan
program-program yang sistematis untuk me-maintain
dan me-retain mereka agar mereka
menjadi lebih produktif.
Catatan dalam
pemikiran di atas tentu saja akan memunculkan tantangan dari sisi local culture yang masuk dalam perilaku
kerja karyawan, yang juga menjadikan sebagian besar alasan karyawan untuk stay di DAHANA, yaitu kebersamaan dan
kekeluargaan, karena membuat situasi kerja dalam ‘zona nyaman’. Jadi alasan employee engagement lebih karena alasan afektif
bukan komitmen secara rasional. Dengan
alasan tersebut juga maka asas pemerataan menjadi suatu keharusan, dimana perusahaan
dituntut untuk memperlakukan seluruh karyawan dengan skala prioritas yang sama,
baik porsi pelatihan, besaran kompensasi dan benefit, bahkan pola manajemen karir. Gaya manajemen yang terlihat fair dan obyektif tersebut memang terlihat
indah dan sempurna, namun menurut saya dalam jangka panjang tidak akan pernah
mampu diimplementasikan untuk mencapai kinerja puncak, apalagi pada Perusahaan
yang menjunjung tinggi budaya profesionalisme dan inovasi seperti DAHANA.
Well, begitulah adanya… Dua hal catatan pemikiran dalam
pengelolaan talent pada era Human Capital dimana Gen Y menjadi talent yang menguasai waktu dalam
organisasi bisnis sekarang ini. Treatment berbeda atas dasar budaya profesionalisme
akan menjadi faktor pembeda dalam proses inovasi sebagai competitive advantage Perusahaan dalam lingkungan bisnis yang
semakin ketat dan tidak menentu. Berangkat
dari pemikiran di atas, mohon maaf apabila tulisan ini terkesan diskriminatif, but this is a fact of life. Accept this or you will be lost with the
wind, because not everyone of us is equal. (Bayu Anggoro, SM PSDM & Organisasi
PT DAHANA)
*Thanx to : Almarhum Agis atas ide dan diskusinya pada
pertengahan tahun 2014.
No comments:
Post a Comment