Pages

Wednesday, February 4, 2015

Saya yang Lupa, tapi Kamu yang Salah



Oleh:  Tiessa Amelia Minza, Manajer Hubungan Pelanggan DTU 2

Pagi itu saat saya sampai di kantor dan mengecek ponsel, saya agak heran melihat ada panggilan tidak terjawab dari rumah. Ada apa ya? Sedetik kemudian saya tiba-tiba teringat bahwa saya salah menyiapkan baju seragam untuk anak saya yang saat ini duduk di TK B. Ini hari pertamanya sekolah setelah 2 minggu lebih libur. Saya sendiri tampaknya pagi itu agak tidak konsen, mengira bahwa hari itu hari Selasa dan bukannya Rabu sehingga salah menyiapkan baju. 


Dengan hati-hati dan setengah menahan geli, saya menelepon rumah. Anak saya tentu saja protes, dia ingin ganti baju. Meski ia tidak mengungkapkannya, saya tahu ia merasa gelisah. Mungkin takut dimarahi ibu guru, mungkin ia tidak mau berbeda di antara teman-temannya. Intinya sih, hidupnya berantakan karena emaknya salah menyiapkan seragam. Bagaimanapun, setelah meminta maaf dan berusaha membujuknya (yang syukurnya tidak memakan waktu lama), saya menawarkannya dua alternatif: pakai baju bebas atau pakai seragam Selasa. Dengan berat hati akhirnya ia memilih tetap memakai seragamnya. Saya memberitahunya supaya jika ibu guru menanyakan, bilang saja kalo emaknya lupa dan salah menyiapkan baju. “Mungkin karena liburnya lama ya, jadi lupa?” anak saya bertanya dan langsung saya iyakan.

Sebenarnya sih saya bisa saja mencari pembenaran, seperti saya lupa gara-gara tidak konsen. Saya tidak konsen gara-gara kelaparan. Saya kelaparan gara-gara harus puasa. Saya terpaksa puasa gara-gara harus medical checkup. Dan seterusnya.

Atau saya bisa menyalahkan mbak yang di rumah. Bajunya kan sudah saya siapkan di kursi dari pagi buta. Si mbak kan udah mondar-mandir di situ. Kok nggak kasih tau? Kok nggak ngeh. Kalau sama suami sih saya tidak berharap banyak. Saya bahkan tidak yakin suami tahu kalau seragam sekolah anaknya ada 4 setel, apalagi pada hari apa saja dipakainya. Tidak bermaksud menggeneralisasi, tetapi biasalah… bapak-bapak.

Kembali ke kondisi di atas, kalau saya sekedar mencari pembenaran dan menyalahkan apakah bakalan menemukan solusi? Tentunya tidak. Jadi yang bisa saya lakukan adalah menganalisis situasi. Untuk pulang lagi ke rumah tentunya tidak mungkin, mengingat lalu lintas Jakarta di pagi hari yang bagaikan neraka. Membiarkan anak bolos sekolah gara-gara seragam juga bukan pilihan. Apalagi memanggil tukang kunci buat mendobrak kamar, kok rasanya berlebihan sekali.

Nah, sebenarnya apa tujuan saya menceritakan peristiwa di atas? Menurut saya, situasi sehari-hari ini bisa dianalogikan dengan yang dapat terjadi di dunia kerja. Taruhlah kesalahan dari salah satu atau beberapa personil yang berimbas terhadap proyek yang tidak menguntungkan, konsumen yang kecewa dengan pelayanan Dahana kemudian berpaling ke kompetitor, atau kegagalan mencapai target penjualan.

Dalam menghadapi setiap permasalahan, kita bisa menyikapinya dengan positif atau negatif. Reaksi yang negatif tentu saja di antaranya berupa lepas dari tanggung jawab, mencari pembenaran, untuk kemudian menyalahkan orang lain. Tetapi apakah sikap seperti itu dapat menyelesaikan masalah, atau malah memperparah terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan? Apakah reaksi negatif bisa mencegah timbulnya masalah yang sama, atau malah kembali menyebabkan situasi sama yang jauh lebih parah?

Seharusnya untuk setiap masalah yang timbul, pasti ada jalan keluarnya. Jadi sudah sewajarnya seorang pemimpin bertanggung jawab dengan bereaksi positif, mencoba dan mendukung dalam pencarian solusi. Anggaplah bahwa setiap kesalahan yang muncul sekedar merupakan langkah bagi kita untuk mempelajari hal yang baru. Bertanggung jawab berarti menerima, belajar, dan mencari jalan keluar untuk setiap masalah atau kesalahan yang muncul.

Nah, lalu bagaimana caranya supaya kita tidak terjebak menjadi seorang blamer? Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah mencoba mencari akar penyebab masalah tersebut. Tenangkan diri dulu, coba pelajari situasi yang sedang terjadi, dan jangan buru-buru asal menyimpulkan, menuduh, dan menyalahkan orang lain. “Oke, situasinya sekarang seperti ini. Kira-kira apa langkah terbaik yang bisa saya ambil dalam keadaan ini?”

Ingat juga bahwa kita bisa berkembang dengan menerima masukan yang jujur tentang diri kita, termasuk masukan tentang hal-hal yang negatif. Tampung masukan tersebut dengan legowo, tanpa prasangka apapun. Tidak perlu malu untuk mengakui, baik kepada diri sendiri maupun orang lain bahwa kita pun bisa berbuat kesalahan. Kenapa? Karena hal itu justru menunjukkan karakter yang kuat. Banyak orang pintar yang berbuat kesalahan konyol, dan itu wajar… toh kita hanya manusia biasa. Orang lain juga akan lebih respek, apalagi jika kita mau sesekali mengakui saat berbuat salah. Jangan sampai reaksi pertama yang timbul pada saat ada masalah adalah kaget, marah, kemudian buru-buru menimpakan kesalahan kepada orang lain.

Buang jauh-jauh blaming dan fokuslah terhadap tujuan dan target kita karena kalau kita fokus terhadap blaming, nantinya waktu kita malah terbuang sia-sia untuk mencari orang yang bisa disalahkan daripada menyelesaikan masalah. Lebih parahnya lagi, jika orang tersebut merasa bahwa kita berbuat tidak adil dengan menyalahkan mereka. Sudah suasana kerja menjadi tidak kondusif dan tidak menyenangkan, bukannya menyelesaikan masalah, malah tambah lagi masalah lain.

Lalu bagaimana kalau ternyata masalah yang muncul memang disebabkan oleh kesalahan orang lain? Bagaimana jika setelah ditelusuri, memang orang tersebut yang melakukan kesalahan dan kita perlu memberikan masukan atau saran kepadanya? Kita bisa memberikan feedback tersebut, tetapi coba bersabar dan tunggu sampai situasi sudah tenang dan masalah sudah beres. Kenapa? Karena meneriaki, menyumpahi, dan menyalahkan orang, tidak akan membuat mereka tahu apa kesalahan mereka lakukan. Mengata-ngatai orang bukan suatu feedback. Malah sebaliknya, mereka tidak akan menghormati kita dan umpan dan saran apapun yang kita berikan tidak akan masuk.

Jadi intinya adalah tetap tenang dan cari solusi terbaik pada saat kita menemui suatu masalah. Jangan buru-buru menyalahkan orang lain saat kita sedang emosi supaya kita tidak terjerumus dan dicap sebagai seorang blamer. Saya sendiri juga masih belajar untuk konsisten melakukan hal tersebut dan sebagai pengingat, saya ingin mengutip kata-kata bijak dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf dari Jerman, “The learner always begins by finding fault, but the scholar sees the positive merit in everything.

Oh ya, sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin kembali ke kejadian domestik di awal cerita. Apa yang akhirnya saya lakukan supaya kejadian salah seragam itu tidak terjadi lagi? Solusinya cukup sederhana dan seharusnya sudah saya lakukan dari jauh-jauh hari. Akhirnya baju-baju seragam anak saya disimpan di lemari atas, di kamar yang sehari-hari memang tidak pernah dikunci. Nah lho... Wis yo Le, sing seneng lan tenang olehmu sekolah, ora sah mikirke seragam meneh!

No comments:

Post a Comment

 

PT DAHANA

Jakarta Office:
Menara MTH, Lt.17
Jl. MT. Haryono Kav.23
Jakarta 12820
Indonesia
Telephone +62 21 837 823 17
Facsimile +62 21 837 823 27

PT. DAHANA

Head Office:
Energetic Material Center
Jl. Raya Subang - Cikamurang Km. 12 Cibogo
Subang 41285, Jawa Barat
Indonesia
Telephone+62 260 742 3333
Facsimile+62 260 742 3888