Oleh: Tiessa
Amelia Minza, Manajer Hubungan Pelanggan DTU 2
Pagi itu saat saya
sampai di kantor dan mengecek ponsel, saya agak heran melihat ada panggilan
tidak terjawab dari rumah. Ada apa ya? Sedetik kemudian saya tiba-tiba teringat
bahwa saya salah menyiapkan baju seragam untuk anak saya yang saat ini duduk di
TK B. Ini hari pertamanya sekolah setelah 2 minggu lebih libur. Saya sendiri
tampaknya pagi itu agak tidak konsen, mengira bahwa hari itu hari Selasa dan
bukannya Rabu sehingga salah menyiapkan baju.
Dengan hati-hati dan
setengah menahan geli, saya menelepon rumah. Anak saya tentu saja protes, dia
ingin ganti baju. Meski ia tidak mengungkapkannya, saya tahu ia merasa gelisah.
Mungkin takut dimarahi ibu guru, mungkin ia tidak mau berbeda di antara
teman-temannya. Intinya sih, hidupnya berantakan karena emaknya salah
menyiapkan seragam. Bagaimanapun, setelah meminta maaf dan berusaha membujuknya
(yang syukurnya tidak memakan waktu lama), saya menawarkannya dua alternatif:
pakai baju bebas atau pakai seragam Selasa. Dengan berat hati akhirnya ia
memilih tetap memakai seragamnya. Saya memberitahunya supaya jika ibu guru
menanyakan, bilang saja kalo emaknya lupa dan salah menyiapkan baju. “Mungkin
karena liburnya lama ya, jadi lupa?” anak saya bertanya dan langsung saya
iyakan.
Sebenarnya sih saya
bisa saja mencari pembenaran, seperti saya lupa gara-gara tidak konsen. Saya
tidak konsen gara-gara kelaparan. Saya kelaparan gara-gara harus puasa. Saya terpaksa
puasa gara-gara harus medical checkup. Dan seterusnya.
Atau saya bisa
menyalahkan mbak yang di rumah. Bajunya kan sudah saya siapkan di kursi dari pagi
buta. Si mbak kan udah mondar-mandir di situ. Kok nggak kasih tau? Kok nggak
ngeh. Kalau sama suami sih saya tidak berharap banyak. Saya bahkan tidak yakin
suami tahu kalau seragam sekolah anaknya ada 4 setel, apalagi pada hari apa
saja dipakainya. Tidak bermaksud menggeneralisasi, tetapi biasalah…
bapak-bapak.
Kembali ke kondisi di
atas, kalau saya sekedar mencari pembenaran dan menyalahkan apakah bakalan
menemukan solusi? Tentunya tidak. Jadi yang bisa saya lakukan adalah
menganalisis situasi. Untuk pulang lagi ke rumah tentunya tidak mungkin,
mengingat lalu lintas Jakarta di pagi hari yang bagaikan neraka. Membiarkan
anak bolos sekolah gara-gara seragam juga bukan pilihan. Apalagi memanggil
tukang kunci buat mendobrak kamar, kok rasanya berlebihan sekali.
Nah, sebenarnya apa
tujuan saya menceritakan peristiwa di atas? Menurut saya, situasi sehari-hari
ini bisa dianalogikan dengan yang dapat terjadi di dunia kerja. Taruhlah
kesalahan dari salah satu atau beberapa personil yang berimbas terhadap proyek
yang tidak menguntungkan, konsumen yang kecewa dengan pelayanan Dahana kemudian
berpaling ke kompetitor, atau kegagalan mencapai target penjualan.
Dalam menghadapi setiap
permasalahan, kita bisa menyikapinya dengan positif atau negatif. Reaksi yang
negatif tentu saja di antaranya berupa lepas dari tanggung jawab, mencari
pembenaran, untuk kemudian menyalahkan orang lain. Tetapi apakah sikap seperti itu
dapat menyelesaikan masalah, atau malah memperparah terjadinya hal-hal yang
tidak kita inginkan? Apakah reaksi negatif bisa mencegah timbulnya masalah yang
sama, atau malah kembali menyebabkan situasi sama yang jauh lebih parah?
Seharusnya untuk setiap
masalah yang timbul, pasti ada jalan keluarnya. Jadi sudah sewajarnya seorang pemimpin
bertanggung jawab dengan bereaksi positif, mencoba dan mendukung dalam
pencarian solusi. Anggaplah bahwa setiap kesalahan yang muncul sekedar merupakan
langkah bagi kita untuk mempelajari hal yang baru. Bertanggung jawab berarti
menerima, belajar, dan mencari jalan keluar untuk setiap masalah atau kesalahan
yang muncul.
Nah, lalu bagaimana
caranya supaya kita tidak terjebak menjadi seorang blamer? Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Yang pertama
adalah mencoba mencari akar penyebab masalah tersebut. Tenangkan diri dulu,
coba pelajari situasi yang sedang terjadi, dan jangan buru-buru asal
menyimpulkan, menuduh, dan menyalahkan orang lain. “Oke, situasinya sekarang
seperti ini. Kira-kira apa langkah terbaik yang bisa saya ambil dalam keadaan
ini?”
Ingat juga bahwa kita
bisa berkembang dengan menerima masukan yang jujur tentang diri kita, termasuk masukan
tentang hal-hal yang negatif. Tampung masukan tersebut dengan legowo, tanpa prasangka apapun. Tidak
perlu malu untuk mengakui, baik kepada diri sendiri maupun orang lain bahwa
kita pun bisa berbuat kesalahan. Kenapa? Karena hal itu justru menunjukkan
karakter yang kuat. Banyak orang pintar yang berbuat kesalahan konyol, dan itu
wajar… toh kita hanya manusia biasa. Orang lain juga akan lebih respek, apalagi
jika kita mau sesekali mengakui saat berbuat salah. Jangan sampai reaksi
pertama yang timbul pada saat ada masalah adalah kaget, marah, kemudian
buru-buru menimpakan kesalahan kepada orang lain.
Buang jauh-jauh blaming dan fokuslah terhadap tujuan dan
target kita karena kalau kita fokus terhadap blaming, nantinya waktu kita malah terbuang sia-sia untuk mencari
orang yang bisa disalahkan daripada menyelesaikan masalah. Lebih parahnya lagi,
jika orang tersebut merasa bahwa kita berbuat tidak adil dengan menyalahkan
mereka. Sudah suasana kerja menjadi tidak kondusif dan tidak menyenangkan, bukannya
menyelesaikan masalah, malah tambah lagi masalah lain.
Lalu bagaimana kalau ternyata
masalah yang muncul memang disebabkan oleh kesalahan orang lain? Bagaimana jika
setelah ditelusuri, memang orang tersebut yang melakukan kesalahan dan kita
perlu memberikan masukan atau saran kepadanya? Kita bisa memberikan feedback tersebut, tetapi coba bersabar
dan tunggu sampai situasi sudah tenang dan masalah sudah beres. Kenapa? Karena meneriaki,
menyumpahi, dan menyalahkan orang, tidak akan membuat mereka tahu apa kesalahan
mereka lakukan. Mengata-ngatai orang bukan suatu feedback. Malah sebaliknya, mereka tidak akan menghormati kita dan
umpan dan saran apapun yang kita berikan tidak akan masuk.
Jadi intinya adalah
tetap tenang dan cari solusi terbaik pada saat kita menemui suatu masalah.
Jangan buru-buru menyalahkan orang lain saat kita sedang emosi supaya kita
tidak terjerumus dan dicap sebagai seorang blamer.
Saya sendiri juga masih belajar untuk konsisten melakukan hal tersebut dan
sebagai pengingat, saya ingin mengutip kata-kata bijak dari Georg Wilhelm
Friedrich Hegel, seorang filsuf dari Jerman, “The learner always begins by finding fault, but the scholar sees the
positive merit in everything.”
Oh ya, sebelum saya
menutup tulisan ini, saya ingin kembali ke kejadian domestik di awal cerita.
Apa yang akhirnya saya lakukan supaya kejadian salah seragam itu tidak terjadi
lagi? Solusinya cukup sederhana dan seharusnya sudah saya lakukan dari jauh-jauh
hari. Akhirnya baju-baju seragam anak saya disimpan di lemari atas, di kamar
yang sehari-hari memang tidak pernah dikunci. Nah lho... Wis yo Le, sing seneng lan tenang olehmu sekolah, ora sah mikirke
seragam meneh!
No comments:
Post a Comment