Oleh: Destyana, Manajer Bang Org & Sislola SDM
Ketika
diminta untuk menulis di Program Manajer Menulis, bermunculan ide tapi gak
jelas. Akhirya daripada semakin gak
jelas, terpikir untuk sharing buku yang saat ini ada di tangan. Sharing tentang
#sharing – nya Handry Satriago, produk lokal yang saat ini jadi CEO GE
Indonesia,
perusahaan multinasional warisannya kakek Thomas Alva Edison. Beliau
berkursi roda sejak usia 17 tahun tapi pemikirannya tidak terbatasi oleh
keterbatasan fisiknya. Ok…cukup cerita tentang penulisnya. Kalau mau mengenal
lebih jauh beliau, monggo silahkan saja di googling atau follow sosmednya atau
barangkali ada yang mau mengundang beliau ke Dahana buat DBBI..hehehe…
Dari
sekian banyak topik yang beliau #sharing, ada 1 topik yang menarik, yaitu
followership. Sesuai arti katanya, kalau leadership berfokus kepada leader,
maka followership berfokus ke follower. Setuju dengan pemikirannya CEO GEI ini,
bahwa organisasi tidak cukup hanya berkonsentrasi ke leader saja. Ternyata persoalan
anak buah alias follower mesti menjadi perhatian juga untuk dikembangkan
menjadi good follower daripada dibiarkan saja dan menjadi bad follower.
Bad
followership dapat merusak suatu organisasi. Follower yang pasif, tidak berani
berpendapat, hanya mengikuti perintah tanpa berpikir, mengeluh tanpa solusi
adalah beberapa contoh bad followership. Nah…si bad follwership ini tanpa
disadari dapat berpengaruh ke leadernya dan ujungnya justru malah dapat
menciptakan bad leadership (terutama untuk leader yang tidak aware).
Sejarah
menunjukkan banyak organisasi yang memiliki follower yang hanya melulu
mengikuti apa kata leader, mengalami kehancuran. Karena leadernya tidak
mendapatkan input terhadap situasi yang real dan terjebak pada narcistic leadership
(narcistic leadership: leader yang terpukau dengan kesuksesannya di masa lalu
dan tidak peduli bahwa situasi dan followernya sudah berbeda). Apalagi di
situasi yang bebas saat ini, follower memiliki power karena mempunyai lebih
banyak informasi, media untuk berekspresi dan kesempatan untuk mengorganisir tindakan.
Follower
yang baik (good follower) mampu berkata tidak dan berani memberikan pendapat.
Bukan berarti selalu melawan, tetapi punya rasional yang kuat dalam memberikan
input, tak masalah apabila akhirnya setuju dengan leadernya.
Good
follower akan berubah menjadi kolaborator/partner, penilai, dan konstruktor
bagi sang leadernya. Good follower juga nantinya akan bisa menjadi good leader.
Nah inilah yang akhirnya membuat organisasi bertahan dan menjadi bagus.
Berbagai
cara dapat dilakukan untuk menggolongkan followers lebih spesifik, salah
satunya berdasarkan kinerja dan value. Ada follower yang tidak bagus kinerjanya
juga valuenya. Follower ini adalah golongan abal-abal atau kalau diistilah
couching kemarin “dead wood”. Follower di golongan ini susah sekali diperbaiki.
Ada lagi golongan The Star, yaitu follower yang value kerjanya tinggi dan juga
berprestasi. Mereka ini adalah orang-orang yang rewarded & promoted. Trus
ada yang belum berprestasi, tapi value kerjanya baik, golongan ini disebut
second chance. Follower ini akan dapat berprestasi nantinya karena mereka
bekerja dengan value yang baik dan benar. Yang juga susah adalah golongan yang
value kerjanya buruk, tapi tetap mencapai target pekerjaannya. Follower yang
ini disebut dengan tirani. Mereka mencapai target dengan segala cara, kadang
mengorbankan teman sekerjanya, kadang melabrak segala aturan. Follower ini
harus segera diperbaiki karena seperti kanker, menyebar di organisasi dengan
cara merubah sel sehat menjadi sel kanker, dan akhirnya organisasi bisa menjadi
mati.
Sudah
kebayang kan peranan follower di organisasi? Sekarang pertanyaannya gimana dengan
kita sekarang, sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari Dahana? Disini yang
menjadi kesepakatan bersama tentu saja kita tidak mau Dahana menjadi hancur,
yang kita mau Dahana bisa terus bertahan bahkan bisa jadi leader di
industrinya. Mesti jadi good followership donk? Pasti. Itu kalau dari
perspektif organisasi, kalau dari pribadi gimana? Tenang saja, ada yang bilang “if
you are a diamond, your job is shining. Diamond itu ditemukan, tak perlu
teriak-teriak agar ditemukan”, jadi otomatis apabila kita melakukannya untuk
Dahana, nanti juga akan datang berbagai kesempatan baik buat kita.
Memang
tidak mudah untuk bisa jadi good follower. Sampai sekarang, saya pun masih berusaha
memperbaikinya. Mulai dari hal yang kecil, seringkali di suatu forum masih jadi
bad follower. Diam, nurut dan tidak bisa kasih input, boro-boro out of the box.
Kenapa bisa gitu? Karena saya tidak tahu mau bicara atau berpendapat apa. Kok
bisa? Karena saya tidak paham dengan materinya. Tidak paham karena tidak
belajar. Jadi ternyata kunci sebenarnya adalah belajar, bukan hanya dalam arti
sempit melalui media atau sekolahan, tapi juga lewat sharing, dengan siapa
saja, dimana saja dan kapan saja.
Sedikit
intermezo soal belajar. Proses belajar akan jadi berguna apabila diikuti dengan
dipraktekkan, disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, dieksperimenkan,
hasilnya..jadi deh ilmu baru. Dilanjutkan lagi dengan mengajar. Sudah tidak
jamannya lagi prinsip guru silat yang punya 10 jurus & cuma mau ngajarin 9
jurus. Jurus ke 10 disimpen kalau-kalau si murid ngelawan. Kan tinggal ciptain
saja jurus ke-11, 12, dan seterusnya. Belajar juga berarti menghargai perbedaan
pendapat dan mengubah perbedaan tersebut menjadi ilmu yang baru. Siklus yang
seperti itulah yang akan membuat organisasi terus bergerak. Nyaman sekali kan kalau
di Dahana sudah seperti ini (makanya ayo setiap orang rajin DBBI *pesan
sponsorship).
Balik
lagi ke manuver untuk jadi good follower, trus gimana kalau kita sudah
mati-matian kasih pendapat, malahan out of the box, tapi leadernya lempeng aja?
Yang pertama cek dan komunikasikan dengan leader, jangan-jangan cara kita selama
ini belum pas sama gaya leader kita. Ada leader yang suka kalau kita
menyampaikan sesuatu tanpa bertele-tele, jadi tidak ada salahnya kita belajar berbicara
secara ringkas (pake ilmu elevator: menyampaikan pemikiran kita hanya dalam hitungan
waktu selama naik elevator). Yang kedua, coba perhatikan timingnya, barangkali
pada saat kita menyampaikan, leader kita sedang “riweuh”, sehingga tidak
menaruh banyak perhatian ke yang kita sampaikan. Tapi jangan menyerah. Siapa tahu
ke depan saat beliau menghadapi persoalan dengan topik yang pernah kita
sampaikan, beliau baru inget dan akhirnya membahas input kita.
Itu
juga sudah dilakukan, tapi gimana kalau leader kita masih aja kekeuh lempeng? Kalau
gini, yang perlu dibenerin adalah leadernya. Sayang sekali kalau “diamond” yang
tadi, tertutupi karena leadernya tidak aware dengan followernya. Kata Barry
Posner (beliau ini banyak nulis soal leadership): people leave their leaders,
not their company…nah lo. Memang followership selalu berhubungan dengan
leadership. Untuk bisa jadi good follower tidak lepas dari peranan leader.
Leader yang mampu mengembangkan followernya, akan menghasilkan leader baru yang
sama atau lebih bagus, dan dianggap telah berhasil. Karena salah satu tugas
leader adalah menciptakan leader yang baru.
Kesimpulannya,
nothing wrong or inferior to become follower, but being a great follower. Berlaku
untuk siapapun kita, karena setinggi apapun leader, pada akhirnya, mereka juga
seorang follower. Jadi, ayo kita berusaha jadi good follower, secara pribadi
maupun buat Dahana kita. Dahana…be excellent!!
Thanks
to : Handry Satriago, @handryGE.
No comments:
Post a Comment