Dahana, Sempat
terpuruk karena gelombang krisis ekonomi dan masuk dalam sengkarut
pusaran politik, hingga akhirnya harus dilikuidasi pada tahun 2002, tak
lantas membuat Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) sepenuhnya
mati. Tahun-tahun pasca reformasi, sebagai pusat nadi industri strategis
nasional, membuat holdingyang memayungi beberapa BUMN yang
masuk kategori industri strategis nasional ini tak terelakan dari
gejolak ekonomi dan politik saat itu.
BPIS sendiri menjadi badan
negara yang mengoordinasikan pengembangan sepuluh BUMN industri
strategis terintegrasi yang meliputi PT Dahana (bahan peledak), PT
Barata Indonesia (peralatan berat), PT Boma Bisma Indra (peralatan
industri), PT LEN (elektronik), PT INKA (kereta api), PT INTI
(telekomunikasi), PT Dirgantara Indonesia (pesawat terbang), PT Krakatau
Steel (baja), PT PAL (kapal laut), dan PT Pindad (persenjataan).
Semangat
dan harapan itu muncul kembali saat bekas karyawan karyawati BPIS ini
bertemu di Kantor Manajemen Pusat (KAMPUS) PT DAHANA (Persero) Subang
pada Sabtu (20/04). F. Harry Sampurno, Direktur Utama PT Dahana
(Persero) yang juga bekas karyawan BPIS mengungkapkan, bubarnya BPIS
yang kemudian diikuti dengan periode masa sulit BUMN Industri Strategis
sempat membuat perusahaan-perusahaan vital plat merah ini hampir gulung
tikar. “Dahana sendiri bahkan terus maju dan belajar dari masa-masa
sulit yang telah dilewati Dahana sebelumnya, kuncinya terletak pada
manajemen perusahaan,” ujar Harry di depan seratusan eks karyawan
karyawati BPIS.
Dihadiri oleh hampir seluruh pejabat eks karyawan
BPIS dari tiga angkatan, yaitu angkatan sebelum 1989, angkatan 1989 –
1998, dan angkatan 1998 – 2002. Acara temu kangen bertajuk reuni akbar
ini tak hanya sebatas pertemuan melepas kerinduan antar karyawan, namun
menumbuhkan kembali semangat anak bangsa menghadirkan industri strategis
nasional yang sempat mengalami keterpurukan pasca reformasi.
Merunut
pada kilas sejarah yang diungkapkan Harry yang juga penulis buku
“Keruntuhan Industri Strategis” ini, kelahiran industri nasional mulai
dihidupkan sejak dekade tahun 1970-an oleh Baharudin Jusuf Habibie yang
saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi saat era Presiden
Soeharto. Sebagai tokoh sentral, Habibie kemudian mendirikan Divisi
Pengembangan Teknologi dan Penerbangan di PT Pertamina tahun 1975,
diikuti dengan pembentukan Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis
(TPPIS), yang merupakan cikal bakal BPIS yang lahir sesudahnya tahun
1989.
Kelahiran BPIS inilah yang dikatakan Harry, menjadi tulang
punggung pengembangan industri strategis nasional yang modern dan
terintegrasi. “Tak ada negara manapun dengan industri militer yang
berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh industri strategis lainnya
dalam satu koordinasi,” papar Harry. Namun IMF mempunyai pandangan lain,
proyek berbagai industri strategis dianggap hanya sebagai mercusuar,
hanya menjadi kebanggaan rakyat dan pemerintah di kemasan luarnya, namun
di dalamnya industri ini sarat biaya yang mahal. Dampaknya, saat
krisis ekonomi melanda, IMF menghentikan subsidi untuk pengembangan
teknologi penopang industri strategis, yang selanjutnya diikuti dengan
pembubaran BPIS sebagai koordinator dari operasi BUMN-BUMN vital
berbasis teknologi tersebut.
Mantan Direktur Utama PT Industri
Kapal Indonesia ini menilai, dengan dibubarkanya BPIS, merupakan langkah
mundur dari usaha industrialisasi industri strategis nasional yang
bergerak berbasis teknologi melalui penguasaan teknologi yang bertahap.
Meski pada akhirnya, hilir industri strategis mempunyai kecenderungan
diarahkan untuk kepentingan kemandirian alutsista dalam negeri.
Transformasi Dahana
Seperti
halnya BUMN yang tergabung dalam Industri strategis BPIS lainnya, PT
Dahana ikut terseret arus dalam periode sulit pasca krisis ekonomi.
“Berbagai kebijakan pemerintah mematikan industri strategis, aturan baru
pemerintah membuat keistimewaan perusahaan milik negara dipreteli satu
per satu seperti hak monopoli bahan peledak. Namun justru dari periode
sulit tersebut, manajemen perusahaan belajar banyak dan tumbuh semangat
untuk tak bergantung pada pemerintah,” ungkap Harry.
Pembiaran
pemerintah terhadap Dahana tak lantas membuat BUMN handak ini
terjerembab. Sebaliknya, melihat persaingan segmen bahan peledak yang
kian ketat setelah dicabutnya hak monopoli, dengan semangat baru Dahana
justru berganti baju menjadi perusahaan yang bonafid dengan manajemen
yang sehat serta karyawan dengan kompetensi tinggi. Sebagai perusahaan
yang dimiliki sepenuhnya oleh negara, Dahana pun ikut berkontribusi
sangat besar untuk negara, baik dalam pajak maupun dividen yang disetor
ke kas negara.
Seperti diungkapkan Edi Suharia Bratanadiria,
Mantan Direktur Utama PT Dahana (Persero). Direktur yang menjabat saat
pembelian lahan dari PTPN yang kini menjadi Energetic Material Center
(EMC) ini, mengaku heran dengan pesatnya kemajuan perusahaan. “Dulu
lahan EMC hanya perkebunan karet yang hampir dianggap tak menguntungkan
buat PTPN, kini justru menjadi pusat bahan peledak yang bernilai sangat
strategis,” ujar Edi ditemui Dfile di Auditorium KAMPUS Dahana.(IDR)
Wednesday, May 8, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment