Oleh:
Holly Alifiah, Senior Manager Pelayanan Korporasi
Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita, atau aset penting yang dipasrahkan kepada kita. Konsekuensinya, sebagai penerima amanah, kita terikat secara moral untuk melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar.
Dalam menunaikan amanah tersebut, yaitu ketika kita melaksanakan suatu tanggungjawab, maka pelaksanannya tidak boleh sekedar formalitas. Maksudnya, tanggungjawab itu betul-betul harus kita laksanakan secara baik dan benar, baik esensinya, spiritnya, maupun administratif formalnya sehingga menyamai bobot amanah yang diberikan.
Jadi hanya ada satu pilihan: jika kita menerima amanah, kita harus bertanggungjawab secara baik dan benar. Dengan kata lain, dari perut amanah lahirlah bayi tanggungjawab. Karena tidak mungkin ada tanggungjawab tanpa konsep amanah.
Melaksanakan amanah secara tidak benar dan kurang bertanggungjawab pada akhirnya akan menghancurkan basis kepercayaan. Menurut Francis Fukuyama, kepercayaan (trust) adalah modal sosial tertinggi (Fukuyama, 1995). Karena itu, tidak melaksanakan amanah secara bertanggungjawab berarti menghancurkan diri sendiri.
Seorang akuntan, dia tidak cukup hanya menyajikan angka-angka yang balance pada kolom debet dan kredit, tetapi lebih penting lagi, angka-angka itu harus menyatakan fakta bisnis yang benar. Di bidang lain, seorang sarjana tidak cukup hanya sekedar lulus ujian dan membuat skripsi, tetapi kelulusannya haruslah dengan proses belajar yang benar. Di sini, amanah menuntut kesejatian, bukan hanya esensinya tetapi juga prosedurnya.
Kita semua adalah pemegang amanah. Tidak hanya satu tetapi banyak. Terdapat multi-amanah di bahu kita. Segenap bakat, talenta, dan potensi diri kita serta anggota keluarga, khususnya anak-anak kita, bahkan rezki dan harta benda lainnya yang dipercayakan Tuhan kepada kita, semua adalah amanah.
Sekarang, dengan kesadaran dan penghayatan bahwa kita mengemban amanah yang penting, maka terbitlah perasaan benar, feeling right, di dalam hati kita dan untuk melakukannya dengan benar. Perasaan ini selajutnya menimbulkan motivasi yang amat kuat. Dengan demikian kita akan berada dalam modus melakukan hal yang benar, dengan tujuan yang benar, dengan sikap yang benar, dengan cara yang benar, serta menggunakan data dan instrumen yang benar pula. Bila ini terjadi, seyogianya hasilnya akan benar pula.
Karena itu etos amanah seyogyanya diberikan dalam program pembinaan SDM, agar pegawai dan pejabat organisasi bersangkutan lebih bertanggungjawab dan berdaya secara moral dalam mengemban amanah dipundak masing-masing.
Secara spriritual kita percaya bahwa kita telah menerima amanah kehidupan dari Sang Pemilik hidup, yaitu Tuhan Sang Maha Pemberi. Oleh karenanya kita bertanggungjawab atas setiap detik kehidupan kita yang fana ini. Entah berapa panjang usia kita di Bumi ini, maka amanah usia tersebut harus kita pertanggungjawabkan kelak di mahkamah Ilahi. Entah kita akan masuk surga atau neraka, sebagian atau seluruhnya, tergantung kualitas tanggungjawab kita atas hidup kita, yaitu buah kesadaran kita atas amanah Ilahi itu.
Tuhan memberikan bakat, talenta dan potensi biologis-psikologis-spiritual insani lainnya yang kini menjadi milik kita.
Kesadaran moral atas amanah human potensial inilah yang melahirkan konsep tanggungjawab pribadi atas pengembangan diri kita secara optimal menuju limit kesempurnaan. Semakin besar rasa tanggungjawab kita semakin besar pula ukuran diri kita. Orang “kerdil” disebut “manusia kerdil”, bukan karena ditakdirkan “kerdil”, melainkan karena yang bersangkutan tidak mau mengambil tanggungjawab mengembangkan dirinya dan hanya bersedia memikul tanggungjawab yang “kerdil” saja.
Sebaliknya orang “besar” menjadi “manusia besar” bukan karena badannya besar tetapi karena yang bersangkutan berani memikul tanggungjawab yang besar.
Jabatan adalah amanah untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan.
Jika kita bekerja dengan penghayatan sebagai seorang pengemban amanah, maka secara internal, otot integritas kita yang terus berkembang, kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang terpercaya. Makna dipercaya adalah :
- Keandalan (reliability) yang mengacu pada kompetensi teknis. Ini mengandalkan adanya kompetensi. Dengan kompetensi orang mampu melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar teknis dan profesional.
- Keterpercayaan
(thrustworthiness) yang mengacu pada kompetensi etis/moral. Ini
mengandalkan adanya integritas. Dengan integritas orang mampu
melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar etis, Jadi kompetensi
dan integritas adalah sepasang kualitas utama agar seseorang mampu
mengemban amanah dengan sukses.
Untuk membangun kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan yang serius. Sedangkan untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan mengemban amanah.
Bagaimana cara mengembangkan etos amanah? Ini pertanyaan sulit. Tetapi sangat penting untuk dijawab karena pengetahuan ini akan membawa kita pada kunci pengembangan SDM terpenting bagi perusahaan.
Etos amanah dapat lahir dari proses dialektika dan refleksi batin tatkala kita berhadapan dengan kenyataan buruk di lapangan yang dihadapkan dengan tuntutan moral dan idealisme di pihak lain. Dalam proses ini terjadi penyentakan-penyentakan perasaan, kejutan-kejutan kejiwaan, dan pencerahan-pencerahan batin – umum disebut sebagai moment of truth – yang kemudian mentransformasikan kesadaran kita ke tingkat yang lebih tinggi dan selanjutnya melahirkan etos amanah.
Pengalaman moment of truth selalu menjadi suatu titik-balik yang menandai tumbuhnya kesadaran baru dan berkembangnya moral yang lebih tinggi. Maka terbentuklah etos amanah yang selanjutnya merumuskan atau mempertegas peran dan tanggungjawab bersama serta melahirkan sebuah daya juang besar untuk mewujudkan cita-cita dan visi bersama.
Demikian pula perasaan amanah seorang Mahatma Gandhi untuk menegakkan keadilan dan meraih kemerdakaan bagi India, muncul pada saat ia mengalami moment of truth di sebuah stasiun kereta api di Durban, Afrika selatan. Sebagai pengacara lulusan Inggris ia sanggup membeli karcis kelas satu. Tetapi warna kulitnya membuat ia dianggap tak layak duduk di sana sesuai aturan zalim sistem apartheid. Polisi pun menyeret dan melemparkan Gandhi keluar kereta pada saat tiba di stasiun berikutnya. Pengalaman ini sangat menyentak kesadaran Gandhi. Lalu ia pun mulai bermertamorfosa menjadi pejuang keadilan, pengemban amanah kebenaran.
Jadi, masalah kita adalah, adakah sebuah pengalaman bathin yang dramatis pernah kita alami sehingga kesadaran etos amanah ini tumbuh subur dalam jiwa kita dan melahirkan komitmen untuk bekerja benar penuh tanggungjawab
Kita Semua adalah Pemegang Amanah
Dari Perut Amanah melahirkan Tanggungjawab
Amanah adalah kepercayaan
Tanpa Amanah ketidak benaran tegak berdiri lestari
Ketika pundak tak kuasa memikul AMANAH, maka BERSUJUDLAH
Mereka yang berbahagia adalah mereka yang amanah dan pandai bersyukur, bukan mereka yang hidup tanpa masalah, tapi mereka yang terampil mengelola setiap masalah menjadi penuh hikmah
No comments:
Post a Comment