Zulvy terlihat baru keluar dari toilet. Sambil merapikan baju yang tidak rapi lagi
seperti ketika berangkat dari rumah.
Zulvy menarik nafas dalam-dalam, "Huuuuuhhh.."
Tiba-tiba ada suara menyahut dibelakangnya, "Kesiangan
Zul?," tanyanya sambil tersenyum.
"Kurang lebih seperti itu lah," jawabnya mesem
sambil melirik jam di telepon genggamnya.
Semakin hari jalanan yang dilalui Zulvy semakin macet. Waktu tempuh untuk jarak beberapa kilo saja
dapat dicapai hampir satu jam dengan menumpang kendaraan roda empat. Oleh karenanya, moda transportasi roda dua
menjadi primadona.
Rupanya pangsa pasar pegawai dengan sepeda motor itu
ditangkap oleh dealer. Dengan uang muka dan persyaratan yang
cenderung longgar peminat pun berduyun duyun.
Hasilnya, populasi motor di jalan raya semakin mendominasi.
Lihat saja catatan penjualan kendaraan roda dua di DKI
Jakarta perharinya 1.200 unit, belum lagi mobil yang mencapai 256 unit per
hari. Bandingkan dengan pertambahan
panjang dan luas jalan, sungguh tidak berbanding. Dapat diibaratkan, pertumbuhan jalan raya
deret hitung sedangkan pertumbuhan kendaraan roda empat mengikuti deret ukur.
Jomplang.
Khalayak sempat dibuat tertegun ketika jebolnya situ gintung
beberapa tahun lalu. Selain kaget dengan
peristiwa itu, juga seperti baru sadar ketika di rumah seorang tokoh publik
pemerhati anak terdapat lebih dari lima mobilnya ikut terendam. Bukan terendamnya, bagi khalayak kecil satu
rumah dengan lima mobil sungguh luar biasa.
Nyatanya itu bukan satu dua yang begitu. Banyak pejabat dan orang kaya di negeri ini
memiliki jumlah mobil lebih dari tiga.
ada larangan untuk itu? Oh tidak.
Hanya saja ini dapat sedikit menjawab penyebab kemacetan yang semakin
menggila.
Ironi, di tengah kampanye menghadapi kemacetan namun roda
konsumsi kendaraan justru meningkat.
Pemerintah seolah memakan buah simalakama, laju produksi kendaraan ditahan
dianggap menghambat pertumbuhan perekonomian nasional, dibiarkan berarti
menambah berat pekerjaan dalam menanggulangi dampak kemacetan.
Bayangkan lagi, mobil baru setiap hari keluar dalam jumlah
banyak, mobil yang tidak bisa dipakai perharinya bisa dihitung jari. Sudah menjadi tabiat orang kita yang kreatif,
mobil tua yang sudah tidak karuan bentuk dan suaranya pun masih berkeliaran di
jalan raya. Sebenarnya kalau dinas
terkait konsisten dengan aturan uji emisi sudah bisa dipastikan mobil-mobil tua
tersebut tidak bakal lolos.
Satu lagi simpul kejelekan kita, seolah olah segalanya dapat
dibeli, segalanya dapat diselesaikan dengan uang. Lihat saja, pelanggar masih bisa leluasa
berdamai dengan petugas, angkutan ngemel
dengan aparat supaya bisa lewat atau ngetem tanpa ditilang. Masih banyak lagi fenomena yang menyesakkan
yang kadang lebih sengak daripada asap knalpot.
Slogan atasi kemacetan seolah menjadi utopia. Masyarakat diajari untuk tertib
berlalulintas, tinggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum. Sementara para pejabatnya asyik dengan kenyamanannya
sendiri. Oleh karenanya, dalam pidato
pejabat sering terdengar manis karena dapat bisikan dari anak buah yang ABS
(Asal Bapak Senang). Coba kalau turun
langsung ke lapangan dan merasakan, mungkin nuraninya akan tergerak. Bukankah kekuasaan ada ditangannya? Bukankah
pengambil kebijakan ada padanya?
Ketika mengingat carut marut ini kita harus tersenyum. Sikap putus asa tidak boleh dipiara. Kita bisa lakukan dengan yang kita bisa. Bukankah segala sesuatu itu bernilai ibadah
ketika niatnya karena Allah? Kita
bersabar menunggu lampu hijau menyala sementara pengendara lain sudah
menyerobot tancap gas akan bernilai ibadah.
Kita tidak dalam rangka pamer taat aturan, sebab kalau bukan dari
individu yang memulai lantas siapa lagi?
Bukankah melakukan hal kecil tapi nyata lebih berguna ketimbang orang
yang mulutnya besar tapi hanya membual, NATO.
No comments:
Post a Comment