Jika waktu bisa dikembalikan ke awal tahun
2000-an, hampir tidak ada orang yang memprediksi raksasa telepon genggam,
Nokia, bakal mengalami kejatuhan. Pelopor teknologi GSM dunia ini hampir tanpa
pesaing sepadan. Nokia menjadi produsen telpon genggam terbesar sejak tahun
1998. Perusahaan asal Finlandia ini menjadi penguasa tunggal 35% pasar telepon
genggam global saat itu.
Sampai tahun 2011. Datanglah iPhone dan
Android sebagai operating system dari
Google untuk perangkat handphone canggih smartphone.
Nokia kalah bersaing dengan Samsung dalam total unit yang terjual dan Apple
sebagai produsen smartphone terbanyak di tahun 2012. Harga saham Nokia jatuh
dari sebesar US$ 40 menjadi hanya tinggal US$ 3
saja di tahun 2012.
Nokia merasa kesulitan untuk berubah dan
terus kalah. Perubahan dirasa sulit karena budaya organisasi dan nilai-nilai
yang menjadi DNA perusahaan sangat susah untuk bertransformasi. Nokia berasal
dari perusahaan manufaktur yang mengutamakan efisiensi dan keteraturan yang analitis.
Nokia menjadi kurang fleksibel dalam mengikuti perkembangan.
Organisasinya menjadi begitu birokratis dan
lambat untuk mengantisipasi perubahan yang berjalan dengan cepat di bidang
teknologi telekomunikasi. Kreativitas dinilai kurang dihargai dalam budaya
organisasi dibandingkan efektivitas dalam berproduksi.
Nokia memang bisa membuat perangkat teknologi
yang direkayasa secara industri dengan baik. Komputer tablet misalnya, Nokia
telah membuatnya lima tahun yang lalu tapi gagal karena tidak memiliki banyak
aplikasi, layar yang resistif, dan kombinasi sofware yang tepat seperti pada
tablet Android atau pengalaman penggunaan yang menyenangkan seperti pada iPad.
Transformasi budaya organisasi dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya amatlah sulit bagi
perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang sudah berdiri lama. Lingkungan
kerja yang sudah lama terbentuk, etika perilaku para karyawannya, etos dan
prosedur kerja yang sudah menjadi suatu proses yang tertanam sebagai DNA
perusahaan.
Dari kondisi di atas, DNA transformasi
perubahan bisa dilakukan hanya ketika organisasi perusahaan berjalan dinamis
dan fleksibel, meleluasakan karyawan perusahaan untuk berkreativitas
menciptakan inovasi untuk kelangsungan perusahaan.
Seperti halnya Nokia, BUMN memiliki karakteristik
yang hampir sama. Didirikan atas dasar konsep melayani negara dan menjadikan
hal tersebut sebagai konsep baku yang menjadi DNA perusahaan, membuat sejumlah
perusahaan plat merah sulit berkembang, merugi, dan akhirnya kegagalan
perusahaan dikambing hitamkan pada segala keterbatasan tersebut meski terus
menerima suntikan modal.
Satu alasan yang tidak ditemukan pada
BUMN-BUMN yang bisa mengikuti arus zaman,
menciptakan organisasi yang fleksibel, dengan kepemimpinan perusahaan yang
memiliki pandangan jauh ke depan sebagai inti DNA. Membuat keterbatasan BUMN
yang tersekat aturan negara, menjadi perusahaan bonafit yang ikut memperbaiki
ekonomi negara, dan mungkin DAHANA adalah salah satunya.
No comments:
Post a Comment